Di tengah dunia yang riuh oleh ambisi dan kecemasan, tawakal sering disalahpahami sebagai menyerah tanpa daya. Padahal, menurut para arif billah, tawakal justru adalah puncak kesadaran ruhani, ketika seseorang menyadari bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata.Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari ( semoga ruhnya dirahmati Allah) — sang penulis al-Hikam yang harum namanya di taman-taman para salik — menegaskan bahwa _tawakal_ bukan sekadar perilaku, tapi maqam (tingkatan spiritual) yang dicapai setelah hati tercerabut dari kebergantungan kepada selain Allah.Ia menulis dalam _al-Hikam_:*“Istirahatkan dirimu dari mengatur urusan dunia; apa yang telah diatur oleh Allah untukmu, jangan engkau susahkan dengan pengaturan dirimu sendiri.”*
Makna Tawakal: Penyerahan Total dan Kepercayaan Mutlak
Berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan hikmah para ulama, *definisi inti tawakal* adalah _penyerahan diri total kepada Allah disertai keyakinan mutlak bahwa hanya Dia-lah yang mampu mencukupi segala urusan_.Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
. .. وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ….
_”Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya”._
(QS. At-Thalaq [65]: 3)
Ayat ini menjadi pilar utama konsep tawakal: *penyerahan total disertai jaminan kecukupan ilahi.*Ketika hati telah berpadu dengan Allah, seluruh beban menjadi ringan. Karena seseorang tidak lagi menaruh harapan pada makhluk yang fana, tapi pada _al-Kafi_ — Dia Yang Maha Mencukupi.
Kesadaran Hakikat Masalah
Ibnu ‘Athaillah mengingatkan bahwa segala urusan berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka, siapa pun yang menyerahkan urusan kepada selain Allah berarti sedang menggantungkan iman pada sesuatu yang rapuh.Beliau mengisyaratkan:“Janganlah harapanmu kepada makhluk menjadi sebab engkau kehilangan pengharapan kepada Allah.”Hakikat tawakal menuntut kesadaran mendalam: setiap masalah adalah titipan dari Allah untuk menguji letak kebergantungan hati. Saat engkau berserah total, Allah menata solusi dengan cara yang hanya diketahui oleh-Nya — kadang lembut, kadang getir, tapi selalu sempurna.
Jaminan Ilahi: “Fahuwa Hasbuh”
Inilah janji Allah yang menjadi permata keyakinan para sufi: “Fahuwa hasbuh.” Artinya, “Allah akan mencukupinya.”Namun kecukupan ilahi sering hadir dalam bentuk yang tidak kita sangka. Solusi dari Allah bukan selalu yang kita inginkan, tapi selalu yang kita butuhkan._“Betapa sering karunia Allah datang dalam bentuk yang tidak engkau sukai.”_ (Ibnu Athaillah, al-Hikam) Maka indikator tawakal yang sejati bukan pada hasil duniawi, tapi ketenangan batin karena merasa dijamin oleh Allah.
Sang arif akan berkata dalam doanya: Ya Allah, Engkau yang menjamin aku, Engkau yang mencukupi aku, Engkau yang melindungi aku — apalagi yang kurang bagiku? Puncak Tawakal: Mencari Allah, Bukan Sekadar Solusi Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam menjadi cermin tertinggi tawakal.
Ketika Jibril menawarkan pertolongan agar diselamatkan dari kobaran api Namrud, Ibrahim menjawab lembut:“Hasbiyallahu wa ni‘mal wakil — *Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”*Ia tidak meminta keselamatan, melainkan Allah itu sendiri.
Dan ketika seluruh makhluk menolak untuk menolongnya, Allah berfirman kepada api:
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ
“Wahai api, jadilah engkau dingin dan menyelamatkan bagi Ibrahim.”
(QS. Al-Anbiya [21]: 69)
Inilah puncak tawakal — ketika cinta kepada Allah melampaui keinginan atas hasil.Tawakal dan Ikhtiar dalam Ubudiah
Ibnu ‘Athaillah tidak mengajarkan tawakal yang pasif. Dalam _al-Hikam_ beliau menulis:*“Salah satu tanda engkau bergantung pada amalmu ialah ketika engkau merasa putus asa saat amal itu tidak sempurna.”*Maka tawakal bukan berarti berhenti berusaha, tapi berikhtiar tanpa mengandalkan ikhtiar itu sendiri.
Seorang yang bertawakal akan tetap beramal dengan sungguh-sungguh, lalu menyerahkan seluruh hasil kepada Allah:
….. وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ
_“Dan hanya kepada Allah orang-orang beriman bertawakal.”_
(QS. Ali ‘Imran [3]: 122)
Dengan begitu, hati menjadi bebas — tidak lagi cemas akan hasil, sebab ia tahu siapa Pengatur hasil itu.Renungan dan Ajakan
Tawakal bukanlah sikap pasrah buta, melainkan kesadaran tertinggi tentang siapa yang sebenarnya berkuasa.
Ketika kita berdoa, berusaha, dan tetap menyerahkan semuanya kepada Allah, itulah _ruhun tawakal_ — ruh penyerahan diri yang memerdekakan jiwa dari belenggu dunia.Jadikan setiap usaha sebagai ibadah, dan setiap hasil sebagai hadiah dari Tuhan.
Sebab, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athaillah:*“Engkau berencana, tetapi Allah pun berencana. Maka biarkan rencana Allah berlaku, karena ia lebih tahu apa yang terbaik bagimu.”
*Penutup
Tawakal bukan berarti berhenti berbuat, tetapi berhenti mengklaim bahwa dirimu mampu berbuat.
Dalam diamnya hati yang berserah, Allah bekerja secara sempurna.
Dan di situlah rahasia kebahagiaan seorang mukmin sejati — tenang, karena tahu siapa yang memegang kendali.Wa Allahu a‘lam bish-shawab.
Kunjungi : www.youtube.com/@islamesoteris
🕊️
Sumber Renungan
- Al-Hikam al-‘Atha’iyyah karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari
- Al-Qur’an Surah At-Thalaq [65]: 3, Al-Anbiya [21]: 69, Ali ‘Imran [3]: 122
- Hadis Riwayat Tirmidzi: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki; pagi-pagi ia lapar dan sore hari ia kenyang.”