Oleh: Bustanul | Sebuah Ikhtiar untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.
Setiap zaman memiliki bahasanya sendiri dalam mencari pertolongan Allah.Generasi kita—yang tumbuh dalam hiruk pikuk layar digital dan kecemasan masa depan—tidak berbeda dengan mereka yang dahulu menengadah di bawah langit, mencari perlindungan dari yang gaib, dari yang tak terlihat namun diyakini nyata.
Di tengah kecemasan modern, muncul kembali minat terhadap *azimat*, *hizib*, dan *Ism al-A‘ẓam* : kalimat suci yang dipercaya membawa penjagaan, ketenangan, bahkan solusi. Sebagian menulisnya di kertas, sebagian menggantungkannya di dada, sebagian melafazkannya sebagai zikir harian.
Namun muncul pertanyaan yang jujur dari hati muda:
Apakah ini masih termasuk doa yang dibolehkan, ataukah sudah menyalahi tauhid?.
Apakah benda itu berfungsi sebagai wasilah, atau sudah menjadi pengganti kebergantungan kepada Allah?
Makna dan Asal Istilah Dalam tradisi Islam klasik
azimat (ta‘wīdh) berarti sesuatu yang mengandung _ayat-ayat Al-Qur’an, doa, atau nama-nama Allah,_ ditulis untuk perlindungan diri.
Rajah sering kali berupa simbol atau huruf Arab tertentu—kadang bercampur huruf Ibrani atau angka mistik—yang diyakini memiliki makna ruhani tersembunyi.
Hizib ialah kumpulan doa atau zikir yang disusun ulama sufi, seperti Hizb al-Bahr karya Abul Hasan al-Syadzili, atau Hizb Nasr karya Imam al-Buni.
Ism al-A‘ẓam berarti “Nama Allah yang paling agung”, yang bila disebut dalam doa, tidak tertolak permohonannya.Sejarahnya panjang: para sufi menjadikannya sarana tawassul—penghubung batin—bukan sebagai jimat semata, tetapi sebagai jalan dzikir mendalam untuk memperkuat ikatan ruhani kepada Sang Pencipta.*Dalil dan Landasan Qur’an – Sunnah*
Allah Ta‘ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
`“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”`
(QS. Al-Isrā’ [17]: 82)
Ayat ini menjadi dasar kuat bahwa *lafaz kalam Allah memiliki kekuatan penyembuh dan penjaga*, bila dibaca atau ditulis dengan niat yang benar.Dari hadis, diriwayatkan bahwa *‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Āṣ* mengajarkan doa kepada anak-anaknya, dan menuliskannya di selembar kertas untuk digantungkan pada mereka yang belum mampu menghafalnya (riwayat Muṣannaf Ibn Abī Shaybah). Ini menunjukkan bahwa penulisan doa dengan niat perlindungan *bukanlah hal baru*, bahkan dikenal di masa sahabat.
Namun, Rasulullah ﷺ juga mengingatkan dalam hadis sahih:“Barang siapa menggantungkan tamīmah (azimat), maka ia telah melakukan syirik.” (HR. Ahmad, Abū Dāwūd)
Ulama menjelaskan bahwa *larangan ini berlaku bila seseorang meyakini benda itu memiliki kekuatan sendiri*, bukan karena Allah. Jadi, masalahnya bukan pada *benda*, tapi pada keyakinan hati.
Pandangan Ulama Klasik: Antara Larangan dan Kebolehan Bersyarat*
*Ibn Taymiyyah*
Dalam Majmū‘ al-Fatāwā, beliau menjelaskan bahwa *ta‘wīdh yang berisi ayat Al-Qur’an atau doa yang sahih* boleh digunakan, _“selama seseorang tidak bergantung pada benda itu dan tetap meyakini bahwa Allahlah yang memberi manfaat._”
Namun, jika berisi huruf aneh atau simbol tanpa makna, maka itu dilarang.
*Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah*
Dalam Zād al-Ma‘ād, beliau menulis bahwa sebagian salaf memperbolehkan *ta‘wīdh Qur’ani, “karena ia termasuk kalam Allah yang menjadi penyembuh dan rahmat.”
Beliau juga menambahkan, benda itu hanyalah _asbāb (sebab)_, sedangkan kesembuhan dan perlindungan tetap datang dari Allah.
Imam al-Ghazālī
Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, beliau memaparkan praktik penulisan doa dan ayat untuk perlindungan diri. Bagi al-Ghazālī, *tujuan spiritual lebih penting dari bentuknya*—selama seseorang tidak menuhankan benda itu, maka tidak mengapa ia mengambil berkat dari kalam Allah.
Imam Abū Ḥanīfah dan para fuqaha Hanafiyyah
Sebagian besar ulama madzhab Hanafī membolehkan ta‘wīdh dengan lafaz-lafaz Qur’an atau Asmā’ Allāh, sebagaimana disebutkan dalam al-Fatāwā al-Hindiyyah, dengan syarat tidak dalam keadaan najis, tidak bercampur dengan sihir, dan tidak diyakini memiliki kekuatan independen.Garis Pembeda: Wasilah atau Wahana Syirik?Para ulama memberi penegasan penting:
- Isi dan Bahasa – harus dari Qur’an, hadis, atau doa sahih.
- Niat dan Keyakinan – hanya sebagai wasilah, bukan sumber kekuatan.
- Adab dan Kesucian – tidak boleh dibawa ke tempat najis; harus dihormati sebagaimana mushaf.
- Tujuan Spiritual – memperkuat dzikir, bukan mencari sensasi gaib.
Jika empat syarat ini dijaga, maka penggunaan hizib, azimat, atau rajah Qur’ani bisa menjadi bagian dari tazkiyatun-nafs—penyucian jiwa—bukan penyimpangan akidah.
Hikmah untuk Generasi Z
Wahai anak-anak zaman cahaya digital,ketika kamu merasa rapuh, bukan jimat yang kamu butuhkan, tetapi jiwa yang sadar bahwa Allah selalu dekat.Jika engkau menulis ayat di kertas lalu menggantungkannya, niatkanlah sebagai pengingat cinta-Nya, bukan karena takut kehilangan daya.Tidak ada yang lebih ampuh dari hati yang penuh dzikir, tidak ada perlindungan yang lebih kuat dari nama-nama Allah yang hidup di dada.
Hizib dan azimat sejati bukan di saku, tapi di sanubari.PenutupMaka, hukum azimat, hizib, dan Ism al-A‘ẓam tidak bisa disamaratakan haram, karena tergantung pada niat, isi, dan keyakinan.
Jika dijadikan alat dzikir, ia termasuk jalan cinta menuju Allah.
Jika diyakini sebagai kekuatan benda, ia berubah menjadi hijab yang menutupi cahaya tauhid.“Bukan tinta pada kertas yang menyelamatkanmu,
tetapi huruf-huruf doa yang hidup di hatimu.
”Wa Allāhu a‘lam bish-shawāb.
Sumber Renungan
- Al-Qur’an Al-Karīm, QS Al-Isrā’ [17]: 82
- Muṣannaf Ibn Abī Shaybah
- Majmū‘ al-Fatāwā – Ibn Taymiyyah
- Zād al-Ma‘ād – Ibn al-Qayyim
- Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn – Imam al-Ghazālī
- al-Fatāwā al-Hindiyyah – Ulama Hanafiyyah

